Dengan ketekunan dan keuletan Amir Mahmud Haka dan Aminah berhasil meroketkan Rumah Makan Nasi Uduk & Ayam Goreng Mas Miskun. Russanti Lubis
Nasi Uduk Mas Miskun, mungkin bukan nama yang asing lagi bagi warga Jakarta dan sekitarnya. Awalnya merupakan sebuah warung tenda kakilima di Jalan Kramat, Jakarta Pusat. Namun kini warung tenda ini sudah ‘naik pangkat’ menjadi Rumah Makan Nasi Uduk & Ayam Goreng Mas Miskun, yang gerainya sudah menyebar ke beberapa tempat. Pelanggannya pun beragam, mulai dari masyarakat strata bawah sampai strata atas. Maklum, kualitas rasanya kelas restoran namun harganya kakilima. Maka siapa pun berkesempatan untuk menikmati lezatnya nasi uduk ini, mulai dari rakyat sampai pejabat. Pelanggannya terdiri dari pejabat negara, politikus, dan beberapa selebritas yang sering muncul di layar kaca.
Yakin bahwa di setiap jalan bertaburan emas, duo A (Amir Mahmud Haka dan Aminah), pemilik Nasi Uduk & Ayam Goreng Mas Miskun, menerapkan filosofi makan bubur untuk melakukan ekspansi bisnisnya. Mulai dari pinggir, keduanya ‘mengepung’ sebuah wilayah dengan nasi uduk mereka. Dan kiat itu ternyata tidak meleset.
Kiatnya? “Tekun dan ulet!” kata Amir. Menurutnya, bila suatu usaha tidak dijalankan dengan tekun, maka usaha itu akan sulit bertahan, apalagi berkembang. “Seseorang yang tidak tekun dalam menggeluti suatu bidang, ketika ia menghadapi berbagai masalah, sudah dapat dipastikan ia tidak akan tahan dan segera ambil langkah seribu. Kadangkala, ia mencoba untuk tetap bertahan dengan membiarkan dirinya tergoda iming-iming usaha lain yang diyakininya lebih bagus. Lalu, berpindah haluanlah ia. Padahal, usaha itu belum tentu lebih baik daripada usaha yang saat itu ditekuninya,” lanjutnya.
Ulet sebagai jurus kedua, harus ditimbulkan dari keyakinan bahwa bisnis yang sedang dijalankan merupakan periuk nasi mereka. “Keyakinan ini harus dimiliki jika seseorang ingin berhasil dalam usahanya,” tegasnya. Caranya? “Pertama, keyakinan akan muncul bila seseorang mengetahui dengan betul apa yang ia kerjakan. Kedua, yakin bahwa Allah akan membantu usaha kita. Tapi, tentunya nggak cuma yakin tanpa ada usaha. Jadi, teruslah berusaha dan yakinlah akan bantuan Allah sesuai dengan kualitas yang kita miliki,” imbuh pria bergelar haji ini.
Ambil contoh, Mas Miskun (kita singkat saja demikian, red.). Dibangun pada 1989 dari sebuah tenda kakilima di pinggir Jalan Kramat, Jakarta Pusat. Pada awal berdirinya, segala cobaan harus ditelan bulat-bulat pasangan suami istri ini. Misalnya, nasi yang basi karena hanya sebagian kecil yang terjual atau empat ekor ayam andalan mereka yang masih tetap utuh sebab tak satu konsumen pun berminat membelinya. Jadi, harap maklum bila bisnis yang dibangun dengan modal sekitar Rp3 juta itu, hanya mampu mengais omset Rp170 ribu/hari.
Namun, setelah melalui perjalanan panjang dan berliku -- termasuk menghadapi “keusilan” petugas ketentraman dan ketertiban umum, preman, dan pengamen, serta aturan tata kota yang mengharuskan mereka digusur dan berpindah-pindah lokasi -- omset Mas Miskun pun melonjak menjadi sekitar Rp300 juta/bulan yang dibukukan dari lima gerainya yang tersebar di Jalan Kramat, Matraman, Pasar Baru, dan Percetakan Negara. Bukan cuma itu, karyawan yang semula hanya semata wayang, kini membengkak menjadi 70 orang. Mas Miskun juga berubah wajah dari tenda kakilima seukuran 30 m² menjadi “warung” seluas 160 m² dengan harga (tetap) kakilima.
Tapi, tidak berarti kini Mas Miskun bebas kendala. “Kami ingin maju, tapi terhambat permodalan. Kami tidak percaya dengan pinjaman bank. Tahun depan, kami berencana membuka outlet sebanyak-banyaknya di seluruh Jakarta. Untuk itu, kami membuka kesempatan kerja sama dengan sistem bagi hasil kepada semua pihak yang berminat. Alhamdulillah, tidak butuh waktu lama untuk laku di bisnis ini, sekitar sebulanlah (setelah dibuka) dan balik modal dalam jangka waktu setahun. Dalam bisnis makanan, untuk BEP sangat cepat. Sebab, makan adalah kebutuhan utama manusia dan orang Jakarta pada umumnya doyan makan. Jadi, profitnya paling tinggi diban-dingkan bisnis-bisnis lain," ucapnya.
Nasi Uduk Mas Miskun, mungkin bukan nama yang asing lagi bagi warga Jakarta dan sekitarnya. Awalnya merupakan sebuah warung tenda kakilima di Jalan Kramat, Jakarta Pusat. Namun kini warung tenda ini sudah ‘naik pangkat’ menjadi Rumah Makan Nasi Uduk & Ayam Goreng Mas Miskun, yang gerainya sudah menyebar ke beberapa tempat. Pelanggannya pun beragam, mulai dari masyarakat strata bawah sampai strata atas. Maklum, kualitas rasanya kelas restoran namun harganya kakilima. Maka siapa pun berkesempatan untuk menikmati lezatnya nasi uduk ini, mulai dari rakyat sampai pejabat. Pelanggannya terdiri dari pejabat negara, politikus, dan beberapa selebritas yang sering muncul di layar kaca.
Yakin bahwa di setiap jalan bertaburan emas, duo A (Amir Mahmud Haka dan Aminah), pemilik Nasi Uduk & Ayam Goreng Mas Miskun, menerapkan filosofi makan bubur untuk melakukan ekspansi bisnisnya. Mulai dari pinggir, keduanya ‘mengepung’ sebuah wilayah dengan nasi uduk mereka. Dan kiat itu ternyata tidak meleset.
Kiatnya? “Tekun dan ulet!” kata Amir. Menurutnya, bila suatu usaha tidak dijalankan dengan tekun, maka usaha itu akan sulit bertahan, apalagi berkembang. “Seseorang yang tidak tekun dalam menggeluti suatu bidang, ketika ia menghadapi berbagai masalah, sudah dapat dipastikan ia tidak akan tahan dan segera ambil langkah seribu. Kadangkala, ia mencoba untuk tetap bertahan dengan membiarkan dirinya tergoda iming-iming usaha lain yang diyakininya lebih bagus. Lalu, berpindah haluanlah ia. Padahal, usaha itu belum tentu lebih baik daripada usaha yang saat itu ditekuninya,” lanjutnya.
Ulet sebagai jurus kedua, harus ditimbulkan dari keyakinan bahwa bisnis yang sedang dijalankan merupakan periuk nasi mereka. “Keyakinan ini harus dimiliki jika seseorang ingin berhasil dalam usahanya,” tegasnya. Caranya? “Pertama, keyakinan akan muncul bila seseorang mengetahui dengan betul apa yang ia kerjakan. Kedua, yakin bahwa Allah akan membantu usaha kita. Tapi, tentunya nggak cuma yakin tanpa ada usaha. Jadi, teruslah berusaha dan yakinlah akan bantuan Allah sesuai dengan kualitas yang kita miliki,” imbuh pria bergelar haji ini.
Ambil contoh, Mas Miskun (kita singkat saja demikian, red.). Dibangun pada 1989 dari sebuah tenda kakilima di pinggir Jalan Kramat, Jakarta Pusat. Pada awal berdirinya, segala cobaan harus ditelan bulat-bulat pasangan suami istri ini. Misalnya, nasi yang basi karena hanya sebagian kecil yang terjual atau empat ekor ayam andalan mereka yang masih tetap utuh sebab tak satu konsumen pun berminat membelinya. Jadi, harap maklum bila bisnis yang dibangun dengan modal sekitar Rp3 juta itu, hanya mampu mengais omset Rp170 ribu/hari.
Namun, setelah melalui perjalanan panjang dan berliku -- termasuk menghadapi “keusilan” petugas ketentraman dan ketertiban umum, preman, dan pengamen, serta aturan tata kota yang mengharuskan mereka digusur dan berpindah-pindah lokasi -- omset Mas Miskun pun melonjak menjadi sekitar Rp300 juta/bulan yang dibukukan dari lima gerainya yang tersebar di Jalan Kramat, Matraman, Pasar Baru, dan Percetakan Negara. Bukan cuma itu, karyawan yang semula hanya semata wayang, kini membengkak menjadi 70 orang. Mas Miskun juga berubah wajah dari tenda kakilima seukuran 30 m² menjadi “warung” seluas 160 m² dengan harga (tetap) kakilima.
Tapi, tidak berarti kini Mas Miskun bebas kendala. “Kami ingin maju, tapi terhambat permodalan. Kami tidak percaya dengan pinjaman bank. Tahun depan, kami berencana membuka outlet sebanyak-banyaknya di seluruh Jakarta. Untuk itu, kami membuka kesempatan kerja sama dengan sistem bagi hasil kepada semua pihak yang berminat. Alhamdulillah, tidak butuh waktu lama untuk laku di bisnis ini, sekitar sebulanlah (setelah dibuka) dan balik modal dalam jangka waktu setahun. Dalam bisnis makanan, untuk BEP sangat cepat. Sebab, makan adalah kebutuhan utama manusia dan orang Jakarta pada umumnya doyan makan. Jadi, profitnya paling tinggi diban-dingkan bisnis-bisnis lain," ucapnya.
0 σχόλια:
Posting Komentar