Berbisnis ketika murid-murid masih menuntut ilmu akademis mungkin dirasa tabu untuk beberapa tahun lalu. Tetapi sekarang banyak orang tua dan sekolah yang mendorong agar anak didiknya belajar berbisnis demi kemandirian di kemudian hari. Russanti Lubis dan Sukatna
Ada suatu masa ketika orang melihat pelajaran akademis dan pelajaran bisnis sebagai minyak dan air. Artinya, sesuatu yang tidak akan pernah bisa bersatu selamanya. Makanya tak jarang orang tua yang melarang anaknya menjalankan aktivitas bisnis ketika mereka masih menuntut ilmu akademis. “Kalau mereka sudah tahu manisnya uang mereka akan lupa pada pelajaran,” dalih salah satu orang tua. “
Namun, cara pandang seperti ini agaknya sudah mengalami koreksi di sana sini. Banyak anak didik yang justru merasa mendapatkan manfaat positif ketika “nyambi” berbisnis. “ Annisa Putrinda mengaku dirinya jauh lebih berdisiplin mengelola waktu ketika dihadapkan kepada perannya sebagai mahasiswi sekaligus pemilik bisnis money changer Trend Valasindo di Lantai Dasar Graha Niaga. Sedangkan kedisiplinan merupakan pilar utama dalam menggapai kesuksesan baik di bidang akademis maupun bisnis. Jadi, menurutnya, tidak ada yang perlu dipertentangkan antara peraihan prestasi akademis dengan usaha meningkatkan kinerja bisnis. “Keduanya bisa saling mendukung,” ujarnya.
Segendang sepenarian dengan Annisa, Bani, siswa SMAN 1 Cileunyi, Bandung, “nyambi” berbisnis saat masih menuntut pendidikan formal justru bisa mendongkrak prestasi akademis. Setidaknya bisa membuat dirinya jauh lebih pede dalam menjalankan tugas-tugas sekolah. Misalnya, ketika ia harus melakukan presentasi di depan kelas ia merasa tidak grogi lagi.
Nilai positif dari pengenalan nilai-nilai entrepreneurship di sekolah formal ini juga dirasakan oleh Otong Ahmad Fathoni, Kepala Sekolah SMAN 1 Cileunyi, Bandung. Menurutnya, kemampuan berbisnis merupakan esensi dasar dan setiap orang mempunyai potensi ke arah sana (baca: menjadi pebisnis, red.). Tapi, karena satu dan lain hal, potensi ini banyak yang terkubur atau terpendam. Di sekolah-sekolah juga tidak secara eksplisit terdapat pembelajaran tentang entrepreneurship, tetapi include dalam pembelajaran-pembelajaran lain, terutama dalam pelajaran ekonomi.
“Itu kan hanya ‘muatannya’, sedangkan ‘jiwanya’ sendiri tidak tergali. Berlatar belakang inilah SMAN 1 Cileunyi, Bandung, ingin membentuk semacam wadah bagi para siswanya, dalam rangka memberikan pembelajaran tentang entrepreneurship, sekaligus mengembangkan potensi mereka. Karena, kami melihat bahwa sebagian dari mereka ada yang menonjol dalam hal ini,” kata Otong Ahmad Fathoni, Kepala Sekolah SMAN 1 Cileunyi, Bandung.
Di sekolah ini, program tersebut diterapkan dalam bentuk ekstrakurikuler (eskul) yang masuk dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, yang muatannya adalah pengembangan diri. Program ini, menjadi salah satu dari 20 eskul di SMAN 1 Cileunyi dan masuk ke dalam eskul koperasi siswa dan kewirausahaan. “Eskul ini diberikan mulai kelas 10 (1 SMA, red.) dan mulai diterapkan pada tahun ajaran 2006/2007,” jelasnya.
Pada awalnya, ia melanjutnya, para siswa tidak tertarik dengan eskul ini. “Ketika Be Boss masuk ke sini, terjadi sinkronisasi dengan program kami tersebut, sehingga sosialisasi kewirausahaannya langsung menyentuh para murid,” ujarnya. Kendala tidak berhenti di situ, karena para siswa masih bertanya-tanya tentang program ini. “Tapi, setelah mereka mengikuti outbound Be Boss, banyak murid kami yang tertarik untuk mengikutinya dan ke sininya jadi lebih mudah,” tambahnya. Kini, tercatat 17 siswa mengikuti eskul ini.
Kendala berikutnya muncul yaitu masalah finansial. Hampir semua orang tua murid sekolah ini berasal dari kelas menengah ke bawah, dengan pekerjaan utama sebagai petani. Dengan demikian, sekecil apa pun masalah keuangan yang mereka hadapi, membuat mereka mentok dalam mengembangkan ketertarikan bisnis. “Kami mengatasi kondisi ini dengan sharing dan menjalankan trik-trik yang diberikan Be Boss, yaitu praktik bisnis secara langsung sehingga memperoleh pemasukan. Lantas, pemasukan tersebut mereka gunakan untuk merealisasikan bisnis yang menarik perhatian mereka,” kata Otong yang memberi keleluasaan para siswanya untuk aktif berbisnis.
Ada suatu masa ketika orang melihat pelajaran akademis dan pelajaran bisnis sebagai minyak dan air. Artinya, sesuatu yang tidak akan pernah bisa bersatu selamanya. Makanya tak jarang orang tua yang melarang anaknya menjalankan aktivitas bisnis ketika mereka masih menuntut ilmu akademis. “Kalau mereka sudah tahu manisnya uang mereka akan lupa pada pelajaran,” dalih salah satu orang tua. “
Namun, cara pandang seperti ini agaknya sudah mengalami koreksi di sana sini. Banyak anak didik yang justru merasa mendapatkan manfaat positif ketika “nyambi” berbisnis. “ Annisa Putrinda mengaku dirinya jauh lebih berdisiplin mengelola waktu ketika dihadapkan kepada perannya sebagai mahasiswi sekaligus pemilik bisnis money changer Trend Valasindo di Lantai Dasar Graha Niaga. Sedangkan kedisiplinan merupakan pilar utama dalam menggapai kesuksesan baik di bidang akademis maupun bisnis. Jadi, menurutnya, tidak ada yang perlu dipertentangkan antara peraihan prestasi akademis dengan usaha meningkatkan kinerja bisnis. “Keduanya bisa saling mendukung,” ujarnya.
Segendang sepenarian dengan Annisa, Bani, siswa SMAN 1 Cileunyi, Bandung, “nyambi” berbisnis saat masih menuntut pendidikan formal justru bisa mendongkrak prestasi akademis. Setidaknya bisa membuat dirinya jauh lebih pede dalam menjalankan tugas-tugas sekolah. Misalnya, ketika ia harus melakukan presentasi di depan kelas ia merasa tidak grogi lagi.
Nilai positif dari pengenalan nilai-nilai entrepreneurship di sekolah formal ini juga dirasakan oleh Otong Ahmad Fathoni, Kepala Sekolah SMAN 1 Cileunyi, Bandung. Menurutnya, kemampuan berbisnis merupakan esensi dasar dan setiap orang mempunyai potensi ke arah sana (baca: menjadi pebisnis, red.). Tapi, karena satu dan lain hal, potensi ini banyak yang terkubur atau terpendam. Di sekolah-sekolah juga tidak secara eksplisit terdapat pembelajaran tentang entrepreneurship, tetapi include dalam pembelajaran-pembelajaran lain, terutama dalam pelajaran ekonomi.
“Itu kan hanya ‘muatannya’, sedangkan ‘jiwanya’ sendiri tidak tergali. Berlatar belakang inilah SMAN 1 Cileunyi, Bandung, ingin membentuk semacam wadah bagi para siswanya, dalam rangka memberikan pembelajaran tentang entrepreneurship, sekaligus mengembangkan potensi mereka. Karena, kami melihat bahwa sebagian dari mereka ada yang menonjol dalam hal ini,” kata Otong Ahmad Fathoni, Kepala Sekolah SMAN 1 Cileunyi, Bandung.
Di sekolah ini, program tersebut diterapkan dalam bentuk ekstrakurikuler (eskul) yang masuk dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, yang muatannya adalah pengembangan diri. Program ini, menjadi salah satu dari 20 eskul di SMAN 1 Cileunyi dan masuk ke dalam eskul koperasi siswa dan kewirausahaan. “Eskul ini diberikan mulai kelas 10 (1 SMA, red.) dan mulai diterapkan pada tahun ajaran 2006/2007,” jelasnya.
Pada awalnya, ia melanjutnya, para siswa tidak tertarik dengan eskul ini. “Ketika Be Boss masuk ke sini, terjadi sinkronisasi dengan program kami tersebut, sehingga sosialisasi kewirausahaannya langsung menyentuh para murid,” ujarnya. Kendala tidak berhenti di situ, karena para siswa masih bertanya-tanya tentang program ini. “Tapi, setelah mereka mengikuti outbound Be Boss, banyak murid kami yang tertarik untuk mengikutinya dan ke sininya jadi lebih mudah,” tambahnya. Kini, tercatat 17 siswa mengikuti eskul ini.
Kendala berikutnya muncul yaitu masalah finansial. Hampir semua orang tua murid sekolah ini berasal dari kelas menengah ke bawah, dengan pekerjaan utama sebagai petani. Dengan demikian, sekecil apa pun masalah keuangan yang mereka hadapi, membuat mereka mentok dalam mengembangkan ketertarikan bisnis. “Kami mengatasi kondisi ini dengan sharing dan menjalankan trik-trik yang diberikan Be Boss, yaitu praktik bisnis secara langsung sehingga memperoleh pemasukan. Lantas, pemasukan tersebut mereka gunakan untuk merealisasikan bisnis yang menarik perhatian mereka,” kata Otong yang memberi keleluasaan para siswanya untuk aktif berbisnis.
0 σχόλια:
Posting Komentar