Mobile Menu

navigasi

More News

Doronglah dengan Otak Kanan, Kendalikan dengan Otak Kiri

Senin, September 17, 2007
Benarkah otak kiri sebagai ‘biang keladi’ yang menghambat kemampuan seseorang untuk memulai dan menjalankan bisnis seperti yang dituduhkan sejumlah orang selama ini?Sukatna

Banyak pebisnis yang sukses namun gagal dalam pendidikannya. Secara statistik jumlahnya cukup signifikan. Kemudian orang mencoba mengaitkannya dengan keberadaan otak kiri dan otak kanan. Konon otak kiri banyak bertanggung jawab atas aktivitas yang melibatkan kemampuan analisis, matematis dan detil (ciri-ciri yang dimiliki para akademisi, pemikir, maupun orang-orang berpendidikan tinggi), sedangkan otak kanan terkait dengan intuisi, kreatifitas dan berpikir secara makro.
Kata sejumlah orang, menonjolnya kemampuan otak kiri membuat seseorang lebih banyak berpikir, berhitung matematis sehingga menciptakan bayang-bayang ketakutan ketika akan memulai berbisnis: takut gagal, takut risiko. Mungkin pendapat ini ada benarnya, tetapi benarkah otak kiri sedemikian “jahat” bagi orang yang akan memulai dan menjalankan bisnis. Kalau pendapat ini mutlak benar maka kita berarti mengabaikan suatu fakta tentang banyaknya pengusaha yang sukses sekaligus berpendidikan tinggi.
Agaknya kita membutuhkan “jalan perdamaian” antara otak kanan dan otak kiri. Mulailah bisnis dengan otak kanan, dan kembangkan bisnis dengan perpaduan otak kanan dan kiri. Kita analogikan saja sebagai sebuah kombinasi antara gas dan rem dalam mobil. Sukseskah kita sampai ke tujuan ketika mobil kita tanpa rem?

Dalam wacanatama kali ini kita menampilkan orang-orang yang mampu memanfaatkan otak kanan sebagai gas dan otak kiri sebagai rem dan pengendali dalam menjalankan bisnis sekaligus sebagai akademisi.
Sebut saja Asep Budiman, Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Di tengah kesibukannya mengurusi semua aktivitas mahasiswa, Asep memiliki beberapa bisnis, seperti oli bekas, vulkanisir ban bekas, bordir, counter Hp dan jasa cuci bis. Menyiasati kesibukannya sebagai pejabat teras di Unsil, Asep selalu menggandeng mitra atau bekerja sama dengan keluarganya.
Asep mengaku keterlibatannya secara fisik di dalam bisnis memang jauh berkurang dibandingkan kurun waktu sebelum tahun 2000. Bisnis yang digelutinya lebih banyak berkaitan dengan pikiran dan ide, sedangkan eksekusinya diserahkan kepada orang lain atau karyawan. “Bisnis saya lebih banyak di pikiran, seperti menjadi konsultan dan membuat business plan. Selain dari sisi fisik tidak terlalu menguras tenaga, hasilnya juga lebih gede,” ujarnya sembari tertawa.
Jiwa kewirausahaannya inipun ia tularkan kepada para mahasiswanya . Sewaktu masih menjadi Ketua Jurusan Manajemen Unsil ia sering mengundang dosen tamu yang terdiri dari para pengusaha sukses maupun yang gagal untuk sharing dengan para mahasiswa. Setelah itu mahasiswa disuruh mengamati peluang di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Kemudian mereka disuruh berpresentasi, dan didorong untuk mendirikan usaha. “Yang berhasil mendirikan usaha, meski kecil langsung mendapatkan nilai A,” kiatnya dalam menularkan entrepreneurship seraya mengimbuhkan ada beberapa bisnis yang didirikan mahasiswanya masih eksis, bahkan berkembang sampai sekarang, di antaranya usaha poultry shop di Kuningan.

Segendang sepenarian dengan Asep, Nuryana Saepudin juga tidak serta merta meninggalkan dunia bisnis ketika dipercaya menjadi Kepala Sekolah Menengah Atas Terpadu (SMAT) Krida Nusantara, Bandung.
Setelah ia memegang tampuk pimpinan di sekolah boarding berstandar internasional ini, dalam berbisnis Nuryana lebih banyak menggunakan kecerdasan otak kirinya. Larangan secara tidak langsung dari pihak yayasan agar guru SMAT Krida Nusantara tidak melakukan aktivitas bisnis, disiasatinya secara arif dengan menyerahkan operasional CV Gema Nuansa ke mitranya. “Saya merancang Tour of Operation sedang mitra saya bertugas mencari klien,” tuturnya.
Menurut Nuryana, bisnis tidak harus moving, tetapi cukup memanfaatkan teknologi komunikasi seperti telepon seluler, telepon dan fax. Ditegaskannya, dalam berbisnis yang penting justru memberdayakan pikiran, dan eksekusinya bisa diserahkan kepada orang lain. “Yang penting bagaimana caranya membangun sistem,” tandas Master Pemerintahan Universitas Langlang Buana ini.

Pentingnya dukungan otak kiri dalam mengembangkan bisnis juga diungkapkan Shofwan Azhar Solihin, Dosen Institut Manajemen Koperasi Indonesia (Ikopin). Menurut pengalamannya, sebagai akademisi maupun pebisnis, penguasaan teori itu dapat mendukung bisnis. Teori bisa memberikan arah sehingga pada tingkat prakteknya benar-benar bisa dihayati. “Dengan kata lain, rohnya akan terasa lebih lengkap jika teori diikuti praktik,” kata Direktur LBPP-LIA cabang Buah Batu, Bandung, yang juga Master Economic Agricultural Science, Landbouw Watenschapen, Belgia, ini.
Suatu strategi yang terbukti ampuh, berdasarkan teori (itu sebabnya tidak perlu alergi terhadap teori) adalah pemilihan lokasi usaha. “Secara ekstrem dikatakan bahwa keberhasilan suatu usaha itu tergantung pada empat hal yaitu lokasi, lokasi, lokasi, dan lokasi. Karena, lokasi yang strategis akan menutup kelemahan berbagai strategi bisnis yang lain,” ucapnya.

Memadukan teori dan praktik akan jauh produktif ketimbang mempersoalkan tidak klopnya teori dan praktik. Hal ini diungkapkan Dandan Irawan, Wakil Rektor I Inkopin, Jatinangor, Sumedang. Ilmu yang didapat di kelas berupa teori-teori pun harus diaplikasikan di lapangan. Sehingga antara ilmu teoritis dan praktisi dapat berjalan selaras dan saling melengkapi.
Pemilik usaha jasa dan garmen ini mengakui pada dasarnya pola pikir akademisi memang bertolak belakang dengan bisnis. Kalau pengusaha langsung terjun dengan menikmati untung atau menderita rugi pada proses akhirnya, sedangkan akademisi menganalisis kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dalam suatu bisnis tetapi dengan satu muara: bagaimana mendapat untung. Target akhir inilah yang seringkali menjadi momok sehingga menimbulkan rasa gamang ketika orang akan memulai bisnis. Dan itu sebabnya pula otak kiri seringkali dituduh sebagai ‘biang kerok’ yang menghambat keberanian lulusan pendidikan tinggi memulai usaha.

Namun Rektor Unsil Nu’man Somantri memiliki perspektif yang berbeda melihat belum bergairahnya lulusan pendidikan tinggi terjun menjadi wirausaha. Ia melihat bukan persoalan otak kiri dan otak kanan, tetapi penyebabnya lebih lekat kepada masalah kultur. Selama 350 tahun Belanda mencengkeram Indonesia. Bukan hanya dalam arti mencengkeram secara fisik tetapi juga kultur. Pada zaman Belanda, di Indonesia diciptakan tiga kelas masyarakat, yakni masyarakat Eropa sebagai penguasa, masyarakat Arab dan Cina sebagai pengusaha dan masyarakat Indonesia sebagai pekerja (untuk kelas menengah ke atas sebagai pegawai dan untuk kelas bawah sebagai kuli).
Kultur inipun masih dilanggengkan secara turun temurun. Bahkan Nu’man sendiri mengaku mendapat pesan dari orang tuanya agar memilih karir menjadi pegawai. Padahal orangtua Nu’man termasuk golongan yang memiliki pendidikan tinggi, namun tidak sepenuhnya bisa mengelak dari kultur yang ditanamkan Belanda. “Dari suatu survey yang dilakukan Media Group, lulusan perguruan tinggi masih banyak yang memilih menjadi pegawai,” ungkapnya.

Kendala yang lain adalah belum adanya perguruan tinggi di Indonesia yang bisa mengemban misi sebagai entrepreneur university, sebagaimana di Amerika Serikat atau di Eropa. Alih-alih bisa mendukung lahirnya lulusan-lulusan yang berjiwa entrepreneur, banyak akademisi atau ilmuwan yang melontarkan pertanyaan menohok,”ini mau ilmu atau mau dagang?”
Namun Nu’man bergeming. Maka tekadnya untuk menjadikan Unsil sebagai suatu entrepreneur university sudah bulat. Karena menurutnya, jika berhasil mengemban tugas sebagai entrepreneur university, dampaknya akan jauh lebih hebat ketimbang Revolusi Industri.

Mengubah mindset seperti ini memang tidak gampang. Itu sebabnya Nu’man tidak berani memasang target berdasarkan tenggat waktu. “Yang penting kita telah memulai prosesnya,” tandas Nu’man. Benar Pak. Jarak ribuan mil juga dimulai dari satu langkah
Komentar 0
Sembunyikan Komentar

0 σχόλια:

Posting Komentar