Mobile Menu

navigasi

More News

Rejeki Lumintu Dari Limbah Alumunium Foil

Rabu, Oktober 24, 2007
Mengolah limbah selalu memiliki added value tinggi. Itu sebabnya Slamet Riyadi bisa menangguk keuntungan 100% ketika menyulap limbah alumunium foil menjadi barang kerajinan. Wiyono

Kata lumintu, diambil dari bahasa Jawa atau Sunda bermakna hampir sama, tidak terputus atau turun-temurun. Slamet Riyadi yang saat ini menggantungkan harapan lewat kerajinan daur ulang, memakai kata tersebut sebagai bendera usaha juga bukan tanpa maksud serta tujuan. Menurutnya, selain berarti telah bersyukur kepada Tuhan yang telah diberikan rejeki dan mudah-mudahan turun-temurun ke anak cucu, Lumintu adalah kependekan dari kalimat ‘Lumayan untuk menunggu tutupe umur’.

Faktanya, usaha kerajinan berbahan utama limbah alumunium foil tidak hanya menghidupi diri dan keluarganya. Masyarakat di sekitar tempat tinggalnya di daerah Sudimara Pinang, Kabupaten Tangerang, Banten, khususnya para lansia serta ibu-ibu rumah tangga, ternyata juga ikut menikmatinya sebagai sumber penghasilan baru.
Pasalnya di daerah ini sebelumnya banyak kaum tua yang menjadi perajin anyaman pandan. Begitu bahan baku pandan mulai habis maka praktis kegiatan mereka juga ikut finish. Secercah harapan pun kembali timbul saat Slamet Riyadi memperkenalkan inovasi kerajinan anyaman dengan menggunakan limbah alumunium foil.

Slamet sendiri mengenal usaha kerajinan selepas dari sebuah perusahaan swasta dengan mengantongi modal sekitar Rp 500 ribu. Pada 1998 ia mulai melirik bahan limbah, terutama bekas kemasan makanan ringan yang berbahan baku alumunium foil untuk dijadikan seni kerajinan tangan, seperti bunga-bungaan dan hiasan lain yang berskala kecil. Baru pada 2000, ia  mengaku memperoleh limbah PVC alumunium foil seperti yang dipakai untuk kemasan pasta gigi, pestisida, susu dan obat-obatan. Bahan ini sifatnya lentur, elastis serta mudah dibentuk. Mulai saat itulah timbul ide mengolahnya menjadi kerajinan anyaman.

Pada awalnya pemasaran produk-produk kerajinan itu tidak serta merta berjalan mulus. Sebab meskipun hasilnya tergolong unik dan menarik, bapak empat anak itu masih perlu mencari segmen pasar. Malah ketika itu ia sempat menjajakan dagangannya di kaki lima. Sampai akhirnya, kurang lebih setahun kemudian jalan terang mulai menghampiri. Ketika itu ada salah seorang staf dari kementerian lingkungan hidup sangat tertarik menjumpai aneka tas, sajadah, tikar, dan sebagainya namun berasal dari limbah alumunium foil. Slamet sempat diikutkan dalam event pameran lingkungan hidup sedunia yang berlangsung di JHCC pada awal 2002. Sejak saat itu ia mulai dikenal masyarakat, LSM pemerhati lingkungan, dan sering diikutsertakan di banyak pameran, mendapatkan pesanan souvenir, atau bahkan diminta menjadi pembicara di berbagai pelatihan tentang daur ulang limbah.

Saat ini pasar lokal untuk kerajinan limbah alumunium foil tersebut meliputi Jakarta dan juga merambah kota-kota besar lainnya. Terutama sajadah, tikar, dan tas eksklusif yang dikombinasi dengan bahan kulit, penjualannya baru di Jakarta dan sekitarnya. Tetapi secara rutin Slamet telah diminta mengirim aneka macam tas untuk sebuah recycled corner di Bali sebanyak 200 buah per bulan. Selain itu juga tandok, semacam alat barang hantaran bagi masyarakat adat Tapanuli di Medan per minggu rata-rata 150-200 buah.
Karena alasan permodalan, tetapi lebih karena pertimbangan demi menjaga eksklusivitas, pria kelahiran Cirebon 1951 itu selalu memakai sistem jual putus dan tidak ada satu pun yang dititipkan di toko. “Setiap pameran, produk umum saja yang dibawa, produk-produk eksklusif tidak ditampilkan,” imbuhnya.

Sementara itu pegawai atau mitra perajin Lumintu saat ini terdapat kurang lebih sebanyak 64 orang, 38 orang di antaranya adalah lansia di atas 60-96 tahun, sisanya ibu-ibu rumah tangga dan beberapa anak remaja. Mereka itulah yang mengerjakan setiap order sebagai pekerjaan sambilan dengan sistem borongan. Besarnya upah berdasarkan jenis produk yang dikerjakan. Untuk tas sedang, misalnya, mereka diupah sekitar Rp 3.500 per buah. Dalam seminggu biasanya setiap orang mampu menyelesaikan 10-15 buah. Lain lagi untuk tikar sajadah, upah yang akan diterima sebesar Rp 10.000 untuk setiap lembarnya. Sedangkan tikar besar, mereka mendapatkan imbalan Rp 30.000 per lembar.
Semua proses sepenuhnya dilakukan secara manual. Termasuk proses awal yakni bahan alumunium berbagai bentuk, baik tube, gulungan dan sebagainya dibelah terlebih dahulu. Untuk melakukannya biasanya dengan mengupahkan Rp 750/kg. Proses sambung dan sisir agar sesuai panjang yang dikehendaki juga dikerjakan secara sederhana, yaitu metode press dengan diisolasi dan dipanaskan. Bahan bakunya diperoleh dari pemulung atau pengepul limbah dengan harga Rp 3.000-Rp 5.000/kg. Beruntung, saat ini pula Slamet sudah bekerja sama dengan sebuah produsen pasta gigi.

Profit margin yang diterima dari hasil penjualan kerajinan limbah alumunium foil cukup lumayan. Harga jual produk berkisar antara Rp 2.500-Rp 120.000 Sebuah map dijual seharga Rp 20.000.Tandok hantaran antara Rp 15.000-Rp 25.000 dan tas sedang mulai Rp 50.000-Rp 80.000. Terdapat pula tas-tas eksklusif dengan kombinasi kulit antara Rp 120.000-Rp 150.000. Omset produksi berdasarkan kemampuan produksi bisa mencapai Rp 15 juta per bulan, dengan catatan stok bahan baku selalu ada. Namun dalam kondisi normal antara Rp 8 juta-Rp 10 juta. “Jujur, kalau dihitung-hitung keuntungan yang diperoleh bisa 100%,” ungkap Slamet.

Lebih lanjut diterangkan, sesuai sifatnya, anyaman alumunium foil sebetulnya bisa dibentuk menjadi berbagai macam produk. Maka untuk mengembangkan usahanya, Slamet berencana menyiapkan desain segala macam produk kebutuhan, mulai dari peralatan kantor, stationary, travel bag, berbagai jenis tas, dan produk-produk dekorasi interior. Malah agar dapat menjalin kerjasama sebanyak-banyaknya , ia pun menyediakan diri guna memberikan pelatihan di berbagai tempat yang membutuhkan.
Komentar 0
Sembunyikan Komentar

0 σχόλια:

Posting Komentar