Mobile Menu

navigasi

More News

Wiwit poles fosil kayu menjadi produk laku

Jumat, Januari 04, 2008
Fosil kayu sempat “disia-siakan” dengan mengekspornya dalam bentuk mentah. Padahal dengan sentuhan seni, fosil kayu ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi.Wiyono

“Kalau di Amerika sudah dicagarkan, sementara di Indonesia masih disia-siakan,” ujar Wiwit Sudarsono mengenai fosil kayu, kerajinan yang digeluti di sela-sela kesibukannya sebagai pengelola biro jasa perjalanan umroh dan haji serta jasa pengiriman TKI ke Korea Selatan. Ia menyayangkan, jika komoditas yang mestinya merupakan barang langka itu ternyata di pasaran hanya menjadi produk bernilai rendah. Ia bahkan menyaksikan beberapa tahun yang lalu sempat terjadi jor-joran ekspor komoditas ini dalam wujud asli dan belum diolah sama sekali. Dan hal itu terjadi, menurutnya dikarenakan masyarakat awam kurang tahu kalau hasil alam tersebut bisa dijadikan produk kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi.

Untunglah, praktek seperti itu kini sudah tidak terjadi lagi. Pasalnya sekarang telah ada pelarangan ekspor fosil kayu kecuali telah menjadi produk kerajinan yang bernilai tambah oleh pemerintah.  “Karena kalau digarap dengan bagus bisa menjadi produk hiasan, baik interior maupun eksterior, seperti cenderamata dan home decoration yang menarik,” sambungnya.

 Pertified wood, istilah asing fosil kayu, sejatinya merupakan produk alam setelah mengalami proses selama jutaan tahun. Di Indonesia pada umumnya terjadi sejak jaman miosen sampai dengan pliocane atau sekitar 25 juta sampai 2 juta tahun SM. Sampai diketemukan, kayu-kayu yang berasal dari pepohonan hutan tropis itu sebelumnya telah terkubur di dalam tanah, yakni di bawah lapisan sedimen air yang banyak mengandung mineral dan mengalami proses permineralisasi. Molekul-molekul lignin dan selulosa pembentuk batang yang membusuk secara perlahan-lahan tidak lantas hancur, melainkan tergantikan oleh mineral, biasanya silikat, yang bersifat keras.

 Akhirnya, peristiwa fisika dan kimia dalam jangka waktu teramat panjang itu telah mengubah semua bahan organiknya, namun struktur kayunya tetap terjaga. Malah sering kali, pada saat penggalian masih dijumpai bentuk batang pohon yang utuh hingga sepanjang empat meter atau lebih.

 ImageDi pulau Jawa, dikatakan Wiwit, kayu yang telah membatu tersebut banyak terdapat di daerah pesisir selatan. Tetapi di daerah lain pun dapat pula dijumpai, seperti misalnya di beberapa daerah di Sumatera atau yang lainnya. Di samping itu, fosil kayu dari masing-masing lokasi yang berbeda biasanya juga memiliki sifat-sifat yang sedikit berlainan. Sebagai contoh, bebatuan  dari daerah di Jambi pada umumnya hanya bagian kulit luar yang memiliki corak bagus. Berbeda dengan fosil kayu di Jawa, sampai pada bagian dalam tetap memiliki corak. “Sedangkan tingkat kekerasannya tergantung pada usianya. Semakin muda berarti kontur kayunya makin banyak, jadi semakin tua akan lebih keras tetapi juga lebih rapuh dan gampang pecah, mirip kaca kristal,” jelas Wiwit.

Pertama kali, ayah dua orang putra ini mengenal kerajinan fosil kayu pada tahun 2005 di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Pada waktu itu telah ada beberapa kelompok masyarakat setempat memanfaatkannya menjadi kerajinan abstrak. Dia menjadi tertarik, terlebih melihat proses pengerjaannya mudah dan cukup dengan peralatan sederhana.

Selanjutnya bekerja sama dengan beberapa orang rekan berdirilah Surya Gallery (SG). Saat ini SG telah memiliki workshop di daerah Bogor dengan 5 orang karyawan yang mengerjakan produk, mulai dari memotong, menggerinda, dan mengampelas fosil kayu menjadi bermacam-macam bentuk, bukan hanya seni kerajinan abstrak. Sementara untuk pemasaran terdapat sebuah art shop, sehingga total investasi awal kurang lebih Rp 50 juta. “Saya coba mengembangkan produk-produk yang memiliki nilai seni tinggi dengan membuat jenis lain seperti bentuk buah-buahan, telor, binatang, patung-patung, miniatur, asbak, dan sebagainya,” tuturnya.

 Diungkapkan, dilihat dari nilai jual produk akhir maka kerajinan fosil kayu memiliki nilai tambah cukup signifikan alias menguntungkan. Bahan baku fosil kayu diperoleh dari pemasok seharga Rp 1.000,00/kg, begitu dipoles harganya bertingkat, mulai Rp 20 ribu/kg, Rp 25 ribu/kg, Rp 50 ribu/kg, atau bahkan bisa mencapai Rp 500 ribu/kg. Harga jual berbeda-beda tergantung bobot produk, motif, desain, warna, dan sebagainya. “Ketika masih bahan mentah kita belum tahu seperti apa, dan baru ketahuan setelah digosok, menjadi bermacam-macam,” imbuhnya.

 Soal bahan baku, Wiwit mengaku tidak terlalu risau sebab menurutnya di dalam tanah jumlahnya masih cukup melimpah. Terdapat sekelompok orang yang berpencaharian menjadi penggali sebagai pemasok bahan. Sementara itu kelima orang karyawan yang digaji dengan sistem borongan mampu menghasilkan aneka kreasi berkapasitas produksi sebulan sekitar 40 ton. Dari Bogor, produk-produk tersebut baru dijual melalui art shop terletak di Bali karena orientasi pemasarannya masih cenderung untuk ekspor, yakni ke Amerika, Eropa, juga negara-negara Asia, kebanyakan ke Korea dan Cina. “Karena pemahaman masyarakat lokal tentang produk ini masih kurang sehingga apresiasinya juga masih kecil,” akunya.

 Wiwit mengaku, penjualan di Bali pun sejatinya bersifat musiman. Peningkatan penjualan biasanya terjadi pada bulan-bulan terakhir menjelang awal tahun sebab seiring jumlah turis asing omset penjualan juga bertambah. Selain itu ekspor juga dilakukan melalui kerja sama dengan beberapa perusahaan trading di tanah air. Meskipun nilainya tidak bisa ditentukan, disebutkan, dalam sebulan paling tidak produk yang bisa dipasarkan mencapai 10 ton terdiri ratusan item dengan minimal omset Rp 200 juta-Rp 500 juta.

 Sementara itu agar dapat mendongkrak penjualan di pasar lokal, Wiwit beberapa kali berpromosi melalui pameran walaupun ternyata hasilnya belum seperti yang diharapkan. “Untuk pasar lokal orientasinya adalah pengenalan dulu,” ujarnya tetap optimis akan peluang yang tetap terbuka lebar. Setidak-tidaknya melalui bisnis garapannya tersebut ia berusaha menunjukkan semangatnya memberikan nilai tambah pada produk anugerah alam seperti mottonya, ‘Perified wood, created by God polished by man’.
Komentar 0
Sembunyikan Komentar

0 σχόλια:

Posting Komentar