Mobile Menu

navigasi

More News

Dapur Solo, Perjuangan Swandani Dari Sebuah Garasi

Minggu, Juni 09, 2019
Dapur Solo, Perjuangan Swandani Dari Sebuah Garasi
Bermodalkan keuletan Swandani berhasil membangun Dapur Solo. Restoran dengan pengunjung tak kurang 200 orang per hari itu embrionya adalah warung rujak kecil di sebuah pojok garasi. 

Sejak beberapa tahun terakhir ini, Jakarta dibanjiri berbagai rumah makan tradisional. Hal itu terjadi, karena bahan dasar makanan tradisional Indonesia itu murah dan mudah didapat, sedangkan hasil olahannya bisa dijual semahal mungkin. Lalu, dengan sedikit polesan interior dan eksterior bangunan, serta penataan yang terkesan mewah, restoran tradisional sudah dapat diubah menjadi fine dining. Di sisi lain, perlahan namun pasti, masyarakat mulai jenuh dengan makanan bule seperti fried chicken, french fries, atau burger. Lebih dari itu semua, pada umumnya rumah makan tradisional menyediakan makanan berat (baca: nasi) dan sebagian besar masyarakat Indonesia merasa belum makan, kalau belum “bertemu” nasi.

Salah satu dari sekian restoran tradisional tersebut yaitu Dapur Solo (DS). Rumah makan yang terletak di kawasan Sunter ini menyajikan aneka makanan Jawa, khususnya dari Solo. “Dalam berbisnis makanan, saya merasa harus membuat spesifikasi. Akhirnya, muncul ide untuk membuat makanan tradisional Jawa. Di sisi lain, kehadiran DS merupakan penyegar di tengah-tengah kejenuhan masyarakat akan fried chicken, sekaligus pembelajaran bagi anak-anak muda zaman sekarang yang tidak lagi mengenal makanan tradisional, terutama dari Solo, seperti urap, bothok, selat, dan sebagainya,” kata Swandani, Director Dapur Solo Group. 

Namun, DS bukanlah rumah makan kemarin sore. Kemunculannya dimulai pada 1986 dari sebuah garasi yang hanya menjual rujak dan es juice. “Modalnya Rp100 ribu, sedangkan omsetnya Rp3000,- sampai Rp5.000,- per hari,” ujar Swan, sapaan akrabnya.

Dengan berjalannya waktu, perempuan yang mengaku membuka warung karena gila kerja ini, menambahi menu makanannya dengan ayam goreng Kalasan, aneka kolak, dan sebagainya sehingga garasi rumah ini berubah menjadi kedai, yang ramai dikunjungi orang-orang kantoran untuk makan siang. 
Sayangnya, kedai ini berlokasi di tengah-tengah perumahan yang padat dan jalan yang sempit, sehingga tidak tampak jelas dari luar. “Menurut saya, kalau mau buka usaha ya harus di tempat untuk buka usaha, jangan di perumahan,” kata ibu satu anak ini. Berdasarkan informasi dari sang suami yang bekerja di sebuah perusahaan pengembang real estate bahwa telah dibangun rumah toko (ruko) untuk pertama kalinya di Sunter, keluarga kecil ini pun boyongan pindah ke ruko berukuran 5x19 m² yang mereka beli secara kredit tersebut, dengan terlebih dulu menjual rumah mereka, pada 1990-an. Di tempat inilah, berdiri RM (Rumah Makan) Solo, cikal bakal DS yang hanya menyediakan makanan khas Solo.

Pada 1997, terjadi krisis moneter (krismon). Banyak bisnis ambruk, termasuk developer dan rumah makan. Tapi, hal ini tidak berpengaruh kuat bagi RM Solo. Buktinya, jika restoran lain omsetnya melorot hingga 50%, omset RM Solo cuma turun 10%. “Suami saya yang menganggur, memutuskan untuk ikut membantu bisnis saya. Apalagi, dia melihat prospek cerah bisnis ini. Lantas, suami saya melemparkan ide untuk mengembangkan rumah makan ini, sekaligus membantu mereka yang kehilangan pekerjaan karena krismon,” ucap wanita yang mengaku tidak bisa masak ini.

Bergabungnya sang suami dalam bisnis ini, memunculkan banyak ide di benak Swan, sekaligus tekad untuk mengembangkannya sebesar mungkin. Pertama, menyediakan makanan tradisional Jawa (bukan cuma dari Solo), yang dapat diterima semua suku. Caranya, memodifikasi rasa sangat manis pada makanan Jawa, tanpa orang Jawa merasa kehilangan rasa asli makanan tersebut. Kedua, meningkatkan jumlah pelanggan yang mulai berkurang, dengan meng-hire seorang desainer grafis untuk melakukan perombakan besar-besaran baik interior, eksterior, logo, dus, maupun branding name. Hasilnya? “Luar biasa! Konsep bangunan ternyata merupakan daya tarik pertama, sebelum konsumen mencicipi makanannya,” ujar sarjana perhotelan ini.

Langkah ini diikuti perubahan nama RM Solo menjadi DS sekitar empat tahun lalu, karena suatu saat ingin mewaralabakan bisnis ini. DS yang dibangun dengan modal Rp200 juta ini, terbagi menjadi dua lantai di mana lantai pertama digunakan sebagai rumah makan, sedangkan lantai kedua untuk ruang pertemuan yang mampu menampung 50 orang. Langkah berikutnya dilakukan ketika DS yang memiliki 20 jenis makanan dan minuman gagal menaikkan jumlah pelanggan di malam hari, sehingga rumah makan berkonsep ruangan minimalis moderen ini hanya dibuka dari pagi hingga sore. “Mungkin mereka berpikir bahwa makanan tradisional, khususnya yang dari Jawa, cuma cocok untuk makan siang. Kebetulan, hampir semua pelanggan saya adalah orang kantoran dan keluarga yang dengan uang Rp20 ribu dijamin sudah kenyang,” katanya.

Di saat yang hampir sama, ia mendapat kesempatan untuk memperluas usaha, dengan membeli ruko di sebelah DS. “Tapi, saya nggak yakin menjadikan ruangan seluas 10x19 m² itu sebagai DS juga, karena DS akan terkesan sangat besar. Usaha yang gede, biaya overhead dan risikonya juga gede. Saya tidak ingin yang seperti itu,” lanjutnya. Sebagai penggemar senam, Swan berinisiatif menjadikan ruko tersebut sebagai tempat senam dan massage tradisional, sekaligus tempat makan yang menyediakan masakan barat, seperti steak yang per paketnya hanya Rp25 ribu, spaghetti, fettuccine, salad, dan sup. Rumah makan semi kafe dengan lounge ini dinamakan 7 Times Steak & Juice. Di sini, pengunjung cukup merogoh kocek sebesar Rp30 ribu, untuk bisa kenyang.

Lalu, muncullah pebulutangkis Susi Susanti yang menawarkan kerja sama dalam bentuk bisnis refleksi dan sport massage (pemijatan untuk cedera saat atau setelah berolahraga, red.) di bawah bendera Fontana Refleksi and Sport Massage. Sekadar informasi, kerja sama bagi hasil ini terjadi empat bulan lalu. “Refleksi yang menyediakan 12 sofa ini memberi pelayanan selama 1,5 jam dengan biaya Rp40 ribu. Sedangkan, sport massage yang menyediakan sembilan tempat tidur, membebankan biaya Rp100 ribu per 1,5 jam perawatan,” jelasnya.

Fasilitas senam (di sini tersedia kelas yoga, erobik, dan pillates, red.) plus gym yang berada di bawah naungan Female Gym, hanya menampung kaum hawa. Dengan ruangan yang mampu menampung 15 orang, setiap member diharuskan membayar Rp200 ribu/bulan dan Rp30 ribu per kunjungan untuk yang bukan anggota. “Meski baru berumur tiga bulan, Female Gym sudah memiliki 300 anggota dan waiting list,” katanya. Female Gym ini juga berfungsi untuk mengatasi ketiadaan pengunjung setelah jam sarapan dan makan siang.

Ide menyatukan food dengan health dalam satu gedung ini, ternyata membuat image DS yang interiornya didominasi warna orange dan kuning ini sangat terangkat. Demikian pula dengan omset yang diraih. Bila RM Solo meraup omset Rp100 ribu/hari, maka DS yang dikunjungi sekitar 200 pengunjung/hari membukukan omset lebih dari Rp3 juta/hari. “Dari buku manajemen yang saya baca dikatakan bahwa bila bisnis sudah mentok, harus membuat terobosan-terobosan baru,” jelas Swan yang mempekerjakan 40 karyawan.

Terobosan lain yang dilakukan DS yang menonjolkan nasi langgi, nasi gudeg, nasi pecel, nasi urap, nasi soto, dan selat ini yaitu merangkul para pedagang kecil menengah dengan sistem mutual benefit, seperti pedagang es oyen, bubur Jawa, rujak, sate Madura, dan serabi Solo. Di samping itu, juga menerima pesanan (lunch box), melakukan kontrol manajemen, standardisasi rasa sehingga tidak tergantung lagi pada koki, dan menggunakan komputerisasi. Nantinya, juga akan menerima katering untuk pernikahan dan membuka cabang di Jakarta Selatan. Kesuksesan akan datang dengan sendirinya pada orang yang mau terus berkembang, rajin menggali semua ide, serta menekuni dan menjalani apa yang telah dirintisnya. Dan, Swan telah membuktikan hal itu.

Swandani: Aku Bersepeda di Terik dan Hujan Untuk Menjemput Impian
Ulet. Itulah modal utamaku. Sebenarnya aku tidak perlu bekerja mati-matian, karena suamiku yang bekerja di perusahaan developer real estate mampu membiayai rumah tangga kami yang mungil. Tapi, sebagai wanita yang gila kerja, aku tidak mau hanya ongkang-ongkang di rumah sambil mengurus anak tunggal kami. Aku memutuskan untuk berjualan rujak dan es Juice di sebuah garasi mungil, di tengah-tengah perumahan yang penuh sesak. Modalnya Rp100 ribu tapi omsetnya hanya Rp3000,- per hari, cuma bisa untuk jajan. Itu belum seberapa, kalau musim hujan tiba, hanya satu bungkus yang laku, bahkan kadang-kadang tak satu pembeli pun yang menjamah rujakku.

Lalu, aku berinisiatif jemput bola. Kukunjungi para pelangganku yang tinggal di kompleks perumahan kami dengan naik turun sepeda, selama dua tahun. Dalam kurun waktu itu pula, dengan setia aku menggoes sepeda pancal. Tak kenal panas tak kenal hujan. Aku selalu dalam keadaan seperti orang mandi. Di saat terik memanggang, aku seperti bermandikan keringat dan saat air mengguyur aku bermandikan air hujan. Baru pada tahun ketiga, gantian mereka yang mengunjungi aku. Pada tahun kelima, baru aku memetik hasil jerih payahku ini dengan memindahkan warungku dari garasi ke ruko, meski aku harus membeli ruko itu dengan menjual rumah kami. Perjuangan ini aku tularkan ke dua teman seperjuangannku, tapi tak satu pun yang berhasil.

Perjuanganku tidak berhenti sampai di sini. Aku juga menyebarkan brosur ke mana-mana. Apakah orang yang aku kasih brosur nantinya akan membeli atau tidak, bukan masalah, yang penting dia sudah membaca isi brosurku. Setiap hari, aku menargetkan menyebarkan brosur kepada 20 orang. Satu saja yang tertarik ya nggak apa-apa. Dengan berjalannya waktu, ternyata dalam sebulan aku bisa merangkul 20 pelanggan.

Cara ini sampai sekarang masih aku jalankan, meski kini warungku sudah berkembang lebih daripada yang aku bayangkan, dengan omset lebih dari Rp3 juta/hari. Setidaknya, di tasku selalu ada 10 brosur yang setiap saat aku sebarkan ke siapa saja. Kadangkala, aku juga menitipkan brosur-brosurku ke beberapa media. Satu hal yang aku tegaskan di sini, bisnis makanan adalah bisnis yang membutuhkan usus panjang alias kesabaran tingkat tinggi. Jadi terus dan teruslah berusaha. (Russanti Lubis)
Komentar 0
Sembunyikan Komentar

0 σχόλια:

Posting Komentar