Ermawati, Menancapkan Kuku di Negeri Singa |
Hampir semua orang mengenal dan bisa memproduksi bawang goreng. Tetapi mengapa Ermawati mampu menjual 2,5 ton bawang goreng di Singapura. Inilah kiatnya.
Dalam berbisnis, seseorang selalu akan mundur teratur bila dihadapkan pada modal, sehingga peluang di depan mata pun lewat begitu saja. Padahal dalam banyak kasus, ketika akan mulai membangun bisnis, justru peluang inilah inti permasalahannya. Hal ini, juga terjadi pada Ermawati ketika mencoba mencari peluang usaha di Singapura, pada sekitar tahun 1996–1997.
Di sisi lain, kadangkala seseorang terlalu muluk berangan-angan tentang bisnis yang akan dibangun, sehingga menyepelekan peluang bisnis yang dianggap ecek-ecek. Semisal, bawang goreng. Memang, pelengkap makanan yang boleh ada boleh tidak di meja makan ini, dapat dibuat oleh hampir semua orang yang hobi masak memasak. Karena itu, banyak yang beranggapan bahwa bisnis bawang goreng adalah usaha picisan yang laku pun belum tentu, alih-alih akan berkembang. Namun, berbeda dengan Ermawati yang berbisnis bawang goreng atas inisiatif temannya di Singapura. Sedikit demi sedikit tapi pasti, kapasitas produksinya meningkat dari 1 kg hingga akhirnya sekarang mencapai 2,5 ton per minggu! Bahkan, kini “cabangnya” di Batam yang dibuka kira-kira setahun lalu, juga pelan-pelan menunjukkan kemajuan.
Kenapa bisa begitu? “Masyarakat Singapura sangat menyukai bawang goreng. Mereka menyantapnya sebagai teman makan nasi, mie, dan sebagainya. Tapi, mereka tidak bisa membuat seenak yang dijual di pasar, terutama seperti yang kami buat, yang lebih pas di lidah mereka daripada bawang goreng buatan mereka sendiri. Untuk itu, para ibu rumah tangga di sana sampai rela berburu bawang goreng yang lezat ke berbagai pasar. Sebab, sekarang mereka sudah mampu membedakan rasa bawang goreng yang enak dan yang tidak. Peluang (baca: permintaan, red.) inilah yang kami tangkap,” jelasnya.
Ermawati menggunakan bawang merah dari Jawa dan Thailand. Karena, kedua jenis bawang merah ini, setelah digoreng akan menghasilkan bawang goreng yang lebih gurih rasanya dan lebih bagus penampilannya. Di samping itu, ia juga mempunyai cara khas dalam menggorengnya sebagai hasil dari percobaan demi percobaan. “Bumbu bawang goreng kami hanya garam, sedangkan yang bikinan Malaysia (pesaing kuat Indonesia dalam bisnis bawang goreng di Singapura, red.) terlalu banyak campurannya,” ujarnya.
Bawang GorengDi sisi lain, Ermawati bukan satu-satunya orang Batam yang berbisnis bawang goreng dan memasarkannya ke Singapura. “Tapi, 2–3 bulan kemudian mereka berhenti memasok alias tidak berproduksi lagi,” katanya. Kemungkinannya, mereka memasok kepada banyak supplier, sehingga pada akhirnya tidak mampu memenuhi permintaan. Sebaliknya, menyadari bahwa usahanya ini berkapasitas home industry, dalam menembus pasar Ermawati mempercayakan pemasaran produknya pada satu tauke (baca: supplier, red.) saja. Di sisi lain, dalam sistem pembayaran, banyak yang masih menggunakan sistem bayar belakangan. “Kami menggunakan sistem cash dan jual putus. Sebab, perputaran produksinya sangat cepat. Apalagi, setelah muncul banyak pesaing” imbuhnya.
Bawang goreng buatan Ermawati dijual dengan seharga 1 dolar Singapura 1 sen atau sekitar Rp6.000,-/ons. Setiap minggu, dipasok ke tauke sebanyak 50 kotak dan setiap kotak berisi 130 bungkus plastik dalam ukuran 1 ons. Bawang goreng yang mampu bertahan 1–2 bulan jika disimpan ini, biasanya tandas diserap pasar tak sampai satu minggu. Untuk meningkatkan omset, Ermawati juga terus berproduksi untuk pasokan pembelian eceran. Sekadar informasi, bisnis ini dibangun dengan modal Rp200 ribu dan kini meraup omset sekitar Rp40 juta/bulan.
Kemudian, dengan alasan sudah cukup menguasai pasar bawang goreng di Singapura, bisnis ini mulai merambah Batam. “Dibandingkan dengan Singapura, Indonesia jauh lebih luas. Bila bawang goreng kami hanya berkutat di Singapura, maka ia akan mentok. Berbeda, jika kami juga mampu menguasai pasar bawang goreng di Indonesia,” ucap Ermin, sang menantu, yang dipercaya menangani bisnis bawang goreng ibu mertuanya untuk kawasan Batam dan sekitarnya.
Bawang goreng yang dipasarkan di Batam, dikemas dalam bungkus plastik berukuran 1 kg dengan harga Rp50 ribu. Untuk merebut pasar, ia juga menjual dalam ukuran satu ons dengan harga Rp4.000,- atau Rp1.000,- lebih murah daripada harga pasar yang berlaku di Batam. Selain itu, meski berada dalam satu payung, tapi manajemen kedua bisnis ini dipisahkan. Demikan pula dalam pemasarannya. “Kalau Ibu melalui supplier, saya menjual langsung. Maklum, orang Indonesia pada umumnya pandai membuat bawang goreng dan biasanya membuat bawang goreng sendiri. Jadi, bawang goreng tidak terlalu menarik perhatian mereka. Untuk menembus bisnis bawang goreng di sini, saya harus menawarkannya ke sana kemari. Sekarang, sedikit demi sedikit orang-orang mulai menyukai dan mencari bawang goreng kami,” ujarnya.
Pria yang menanamkan modal Rp300 ribu untuk bisnis ini dan meraup omset rata-rata Rp10 juta/bulan, juga tidak mau gegabah, sambil terus mencari pasar (dalam waktu dekat ini ia akan “melempar” bawang gorengnya ke Tanjung Pinang dan Karimun, red.) untuk sementara hanya memproduksi 1 ton bawang goreng per minggu, untuk kawasan Batam dan sekitarnya. Banyak orang beranggapan bahwa bila berbisnis haruslah yang serba wah baik bidang usahanya, modal, pengelolaan, maupun pemasarannya. Ermawati dengan segala kesederhanaanya menepis itu semua dengan bawang gorengnya. (Russanti Lubis)
0 σχόλια:
Posting Komentar