![]() |
Ondel-Ondel Shuttlecock Merambah Manca Negara |
Indonesia bukan hanya “mengekspor” pelatih bulutangkis tetapi shuttlecock bekas pun juga sudah bisa dieskpor. Tentu saja setelah dikreasi menjadi karya seni.
Shuttlecock bekas yang bertebaran di lapangan badminton, bagi sebagian besar orang hanya akan dipandang sebelah mata, tapi bagi T. Yustina, pemimpin sekaligus pengajar Lembaga Pendidikan Jaya Beauty School, justru memunculkan ide untuk mengubahnya menjadi suvenir berbentuk ondel-ondel. Hal ini sesuai dengan permintaan dari Dinas Pariwisata DKI, yang meminta para ibu pengrajin suvenir, yang mengikuti pelatihan pada pertengan 2006, untuk membuat suvenir khas DKI.
“Shuttlecock itu kan ‘badannya’ gendut sehingga mirip dengan ondel-ondel. Nah, daripada dibuang begitu saja, mending shuttlecock itu kumanfaatkan untuk kubuat menjadi ondel-ondel mungil,” kata Yustina. Kebetulan, perempuan yang dijuluki pemulung oleh orang-orang dekatnya (karena hobinya mengumpulkan limbah, untuk kemudian diubahnya menjadi berbagai cenderamata cantik, red.) ini, mempunyai saudara yang memiliki lapangan bulutangkis. “Jadi, dari sanalah aku mendapatkan shuttlecock bekas dan gratis. Tapi, aku memberi upah selayaknya kepada anak-anak yang mengumpulkannya,” tambahnya.
Di sisi lain, sebagai pengajar yang memberi pendidikan keterampilan gratis kepada anak-anak tak mampu, ia merasa harus memaksimalkan bahan baku yang ada (baca: limbah gratis, red.) untuk diubah menjadi produk yang bermanfaat. “Sehingga modal yang saya keluarkan tidak bertambah banyak,” ujarnya. Lalu, pada Hari Aksara silam, ia memamerkan shuttlecock ondel-ondel tersebut ke masyarakat. Ternyata, tanggapan mereka sangat bagus, bahkan beberapa instansi pemerintah memberi perhatian khusus, hingga ia diberi kesempatan memamerkan dan memasarkannya di Jakarta Fair 2007 selama sebulan, gratis. Bukan cuma itu, Yustina yang juga membuat Monumen Nasional berbahan dasar gabus untuk melengkapi ondel-ondelnya dan pensil berhiaskan ondel-ondel, juga diberi tujuh kios gratis untuk memasarkan produknya di Ancol, Dufan, Citos, Mal Pondok Indah, Monas, Taman Mini, dan Galeri UKM Waduk Melati.
Dari pameran di Jakarta Fair, ia meraup omset Rp7 juta. Di luar pameran, omset ini tidak berkurang bahkan bertambah Rp3 juta sampai Rp4 juta yang dikumpulkan dari pemesanan. Padahal, modalnya hanya Rp10 juta yang sebagian besar diserap untuk membayar ke-15 karyawannya, di samping pembelian bahan pendukung seperti kain flannel, payet, jarum pentul, dan lem. “Untuk satu shuttlecock ondel-ondel yang mereka buat, saya membayar Rp1.000,-. Biasanya, setiap orang mampu membuat 20 shuttlecock ondel-ondel/hari. Lebih dari itu, mereka juga dapat mengerjakannya sesempat mereka. Sebab, setelah mengambil bahan bakunya gratis dari saya, lalu mereka membuatnya di rumah masih-masing,” kata Yustina yang menjual produk ini dengan harga Rp10 ribu/buah.
Kini, suvenir berbusana ngejreng ini sudah merambah Medan, Kalimantan, Jepang, Korea, dan Taiwan setelah dibawa konsumen dari berbagai daerah atau menjadi tandamata bila instansi pemerintah DKI mengadakan studi banding ke daerah lain, dengan alasan mudah dibawa dan mencerminkan ciri khas Jakarta. Nantinya, produk berlabel Jaya Craft ini juga akan merambah Australia. Di samping itu, juga akan menggunakan limbah kain flannel sehingga biaya produksi semakin bisa ditekan, tanpa mengurangi kualitas atau keindahannya. (Russanti Lubis)
0 σχόλια:
Posting Komentar